Articles by "Berita"

Media Mainstream Masih Sumber Kebenaran, Bukan Media Sosial
Kehadiran buzzer politik di sosial media tidak terlalu memengaruhi pemilih dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Menurut peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad, posisi buzzer masih kalah dengan media mainstream.

"Menurutku media mainstream sangat berperan. Televisi, koran, radio, media mainstrem internet yang dipercaya, dibanding Twitter, Instagram," kata Saidiman saat diskusi bertajuk 'Buzzer politik di media sosial, efektifkah?' di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (12/10/2010).

Ia mengatakan, jumlah pengguna media sosial khususnya Twitter di Jakarta sebagai ibu kota negara hanya 5 persen. Sehingga tidak memberikan dampak yang terlalu besar kepada publik.

"Alat ukurnya media mainstream, kalau ada isu yang hanya di medsos tidak ada di mainstream orang kan enggak baca. Jadi media mainstream masih jadi sumber kebenaran buat kita bukan medsos," tambahnya.

Saidiman menyarankan agar calon presiden maupun tim pemenangannya harus langsung mengkarifikasi apabila menemukan info megatif dari buzzer.

"Caranya menurut saya sudah oke yah sekarang, bahkan pemain medsos kalau ada berita mereka cepat-cepat cari pembandingnya, apakah ini benar atau tidak. Salah satu sumbernya media mainstream. Mereka nyari apakah hoaks atau tidak, dan sekarang sudah muncul kesadaran itu. Dan saya kira lama-lama itu akan terus terjadi," terangnya.

Untuk isu yang sangat memengaruhi publik sendiri tambahnya, adalah isu yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti halnya ekonomi.

"Misalnya kenaikan BBM itu besar pengaruhnya, kalau buzzer politik yah tentu masih perdebatan yah, apakah medsos jadi sumber kebenaran publik atau tidak itu perdebatan juga," tuturnya. (Okezone).*

3.500 Hoaks Beredar di Media Sosial Tiap Hari
Sebanyak 3.500 berita bohong (hoaks) beredar di media sosial setiap hari. Demikian dikemukakan Karo Multimedia Divisi Humas Polri Brigjen Pol Budi Setiawan.

"Bahkan sehari bisa ribuan karena data yang krusial 3.500, ini cukup masif," kata Budi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (22/9/2018).

Dia menilai, maraknya penyebaran berita hoaks didorong keinginan sebagian masyarakat yang ingin eksis, yakni dengan menyebarkan secepatnya. Padahal yang bersangkutan tidak mempelajari terlebih dahulu kebenaran informasi yang ia sebarkan.

Budi menyatakan, Polri tidak akan membiarkan hal tersebut terus terjadi. Kata dia, polisi akan memberikan sosialisasi kepada masyarakat.

"Itu kita sejukan, kita berikan suatu penjelasan supaya memahami, bahwa itu bukan (yang benar)," ucapnya.

Sementara itu, Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini menyatakan berita fitnah atau hoaks dapat menganggu kedaulatan rakyat. Dia menyatakan kedaulatan itu dapat diwujudkan bila pemilih bisa memilih.

"Prinsip bebas memilih itu tidak bisa dilakukan apabila didasari pada berita bohong. Originalitas itu harus diikuti oleh penerimaan informasi yang benar," ucap dia.

Menurut Titi, berita hoaks sangat membahayakan. Pemilu terancam kehilangan legitimasi.

"Menurut saya tidak legitimate sebuah Pemilu kaku pemilih nya mendasari diri pada informasi yang tidak jujur," jelas Titi. (Liputan6.com).*

Dewan Pers Peringatkan Media Online Tak Berbadan Hukum
Dewan Pers meminta media-media online di Indonesia agar jangan abaikan pengurusan badan hukum.

Dewan Pers telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi semua media online yang ada di Indonesia.

Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, pada acara Literasi Digital, Rabu (29/8/2018).

"Tentu kami dari Dewan Pers memberi kesempatan kepada semua media online yang belum kantongi badan hukum agar kembali ke jalan yang benar dengan mengurus badan hukum," kata Prasetyo.

Dijelaskan, satgas melakukan tugas mengawasi media online sesuai dengan undang-undang.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini ada sekitar 300-an media online yang dilaporkan ke Dewan Pers agar media yang bersangkutan segera diblokir.

"Sedangkan ada sekitar 200-an media juga yang sedang dilaporkan ke Polri. Karena itu, dengan satgas ini, kita bisa lebih mengawasi lagi perkembangan media online di Indonesia," katanya.

Dikatakan, dengan maraknya perkembangan media online saat ini, maka Dewan Pers juga menunggu apabila ada pengaduan dari masyarakat, maka media yang bersangkutan langsung diproses secara hukum, baik dengan UU Pers dan juga KUHP.

"Kalau seperti pemerasan dengan berkedok menggunakan media, maka kita ajukan ke ranah pidana menggunakan KUHP, bukan UU Pers," katanya.

Dia mengakui, saat ini juga banyak media yang bermunculan untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Bahkan, ada yang menggunakan media untuk memeras. (Sumber)

Alasan Orang Sunda Tidak Bisa Melafalkan Huruf F (Ef)
Alasan Orang Sunda Tidak Bisa Melafalkan Huruf F (Ef)
Orang Sunda memiliki ciri khas yang mudah dikenali, salah satunya termasuk pelafalan huruf F (ef). 

Orang Sunda terkenal sulit mengucapkan huruf F, sehingga yang terdengar malah menjadi P. Misalnya, mengucapkan Facebook (fesbuk) menjadi Pacebook (pesbook).

Menurut Guru Besar Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran (Unpad), Prof. Cece Sobarna, fonologi Sunda tidak mengenal bunyi F dan V.

Fonologi adalah ilmu tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi alat ucap manusia. "Produksi bahasa Sunda memang tidak ada bunyi-bunyi seperti F dan V," jelasnya.

Namun, Cece menegaskan, tidak semua orang Sunda seperti itu. "Kita harus lihat dulu, mereka berada di wilayah mana. Apakah pedesaan atau perkotaan," ujarnya dilansir Pikiran Rayat.

Menurutnya, mereka yang tinggal di perkotaan besar akan tercampur dengan bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Indonesia dan Inggris yang mengharuskan mereka menggunakan huruf F.

"Selain itu, mereka juga akan terpengaruhi dari lagu dan media sosial yang lebih cepat berkembang," kata Cece lebih lanjut.

Dalam hal ini, orang yang tinggal di pedesaan bukan tidak bisa melafalkan huruf F. Mereka hanya menyederhanakan pelafalan-pelafalan yang ada.

Demikian alasan kenapa orang Sunda menyebut huruf F dengan P.*

Media Online Bentuk Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)
Sebelum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), ada juga AMSI Kepri, AMI, dan AMDI.  

Media Online di tanah air membentuk Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI). Menurut rencana, deklarasikan pendirian AMSI dilakukan Selasa 18 April 2017 di Jakarta.

Media Online yang tergabung di AMSI antara lain detik.com, kompas.com, liputan6.com, viva.co.id, cnnindonesia.com, merdeka.com, metrotvnews.com, okezone.com, republika.co.id, bisnis.com, tribunnews.com, tempo.co, dan kapanlagi.com.

Sejaih ini AMSI berisikan 26 anggota pendiri dan 95 anggota biasa. Jumlah anggota AMSI akan terus bertambah.

Dengan mendirikan AMSI, para pemain media siber diharapkan memiliki posisi bargaining yang lebih kuat, bukan hanya terhadap stakeholder pers lain, tapi juga terhadap negara (Kementerian Komunikasi dan Kepolisian misalnya).

Selain itu, AMSI diharapkan menjadi bagian dari rezim swaregulasi media siber. Jangan sampai media siber diatur oleh orang-orang yang tidak memahami dinamika media siber.

Setelah terbentuk, AMSI akan menjadi asosiasi perusahaan kelima yang bisa menjadi stakeholder Dewan Pers bersama Serikat Penerbitan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

AMSI KEPRI

Sebelumnya, nama AMSI digunakan sebagai organisasi yang dideklarasikan sembilan Pemimpin Perusahaan/Pemimpin Redaksi media online di Kepulauan Riau, khususnya di kota Batam, Agustus 2016.

Sembilan media online tersebut adalah potretkepri.com, detikglobalnews.com, kejoranews.com, Batamekbiz.com, independennews.com, infokepri.com, realitasnews.com, simakkepri.com, dan detiknasional.com.
AMI

Ada juga organisasi media online bernama Asosiasi Media Online Indonesia (AMI) yang dideklarasikan di Jakarta 16 Januari 2017.
 
AMI dideklarasikan sebagai upaya memenuhi aspirasi para penggiat media yang mayoritas menggantungkan hidupnya sebagai jurnalis. Deklarasi diihadiri 36 perwakilan media online di wilayah Jabodetabek.

Anggota AMI antara lain situs Kabar Nasional, Jakartakita, Berita Nusantara, dan Harian Nasional.

AMDI

Selain AMSI, pada Oktober 2016 lahir pula Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) yang dirintis oleh sekitar 10 wartawan senior yang juga pemilik media. 

AMDI diharapkan bisa menjadi wadah bagi pebisnis media tradisional cetak yang “hijrah” atau menjadi penopang para start up di media digital. 

AMDI menjadi wadah organisasi bagi perkembangan media digital atau media online di Indonesia. Organisasinya saat ini telah membina lebih dari 150 media online atau media digital di seluruh Indonesia.

Media yang bergabung dalam AMDI di antaranya halloapakabar.com, eksekutif.com, detak.co, moneter.co, eksplorasi.id, industry.co, beritaenam.com, telegraf.co.id, indonews.id, editor.id, resourcesasia.id, surabayaonline.co, maduranews.id, malangvoice.com, batulicinnews.com, dan obsesirakyat.com. (Berbagai Sumber).*

Isi Pidato Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud di Gedung DPR/MPR
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al-Saud, menyampaikan pidato di gedung DPR, Kamis (2/3/2017).

Dalam pidatonya, Raja Salman mengapresiasi sambutan yang diberikan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap dirinya dan rombongan.

"Kami ucapkan terima kasih atas sambutan luar biasa penuh kehormatan. Semoga ini menjadi titik kerja sama di berbagai aspek di tengah dinamika umat Islam," katanya dalam bahasa Arab seprti dikutup detik.com.

Dalam sambutan singkatnya, Raja Salman juga berbicara soal kerja sama antar dua negara yang berfokus pada pemberantasan terorisme. Selain itu, fokus kerja sama juga menyangkut masalah politik.

"Terutama menangani masalah teroris, termasuk masalah stabilitas politik dalam negeri. Persoalan kerja sama pemberantasan terorisme menjadi persoalan bersama," ujar Raja Salman.

Usai berpidato, Raja Salman berserta rombongan delegasi akan menuju Masjid Istiqlal.

Sejumlah menteri dan pimpinan Parpol turut hadir di gedung DPR/MPR. Mereka turut mendengarkan pidato Raja Salman bin Abdulaziz. 

Sejumlah pimpinan parpol yang hadir antara lain Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketau Umum NasDem Surya Paloh. 

Hadir pula para ulama, seperti Ustaz Yusuf Mansur dan Ustaz Arifin Ilham.*

Akun Anonim Media Sosial Bisa Dilacak Polisi
POLISI menyatakan bisa melacak akun anonim, nama samaran, ataupun akun palsu di media sosial. Akun media sosal abal-abal itu biasanya menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian yang menyerang seseorang.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Mohammad Fadil Imran mengatakan, akun anonim bisa dengan mudah dilacak. Namun, perlu waktu untuk menemukan siapa orang yang mengelola dan menjalankan akun tersebut.

"Bisa, tetap bisa dilacak. Cuma butuh teknologi dan waktu," kata Fadil, Senin (27/2/2017), dikutip Liputan6.

Dijelaskan, akun anonim ini kerap menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian (hate speech). Hanya saja, Fadil mengaku pihaknya tak bisa langsung bergerak menindak akun tersebut tanpa adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan.

"Tapi kalau sudah viral kita melakukan profiling atau penyelidikan," ucap Fadil.*

D’Academy Indosiar Dihentikan Sementara oleh KPI
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menghentikan program siaran D’Academy Indosiar selama dua hari berturut-turut mulai tanggal 27 hingga 28 Februari 2017.

Sanksi administratif bagi D’Academy Indosiar berupa penghentian sementara itu diputuskan dalam rapat pleno Komisioner KPI Pusat, Senin (20/2/2017). 

"KPI Pusat menilai program siaran D’Academy yang ditayangkan pada 14 Februari 2017 pukul 20.48 WIB telah melanggar aturan," demikian dirilis situs resmi KPI Pusat.

Aturan yang dilanggar adalah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. 

Disebutkan, pelanggaran berupa adanya ungkapan kasar dan makian oleh salah satu pengisi acara. KPI Pusat menilai ungkapan kasar dan makin verbal itu tidak pantas ditayangkan.

Pasal P3 dan SPS yang dilanggar yakni Pasal 9, Pasal 14 Ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 21 Ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) serta Pasal 9 Ayat (1), Pasal 15 Ayat (1), Pasal 24 dan Pasal 37 Ayat (4) huruf a Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012.

Sebelumnya, KPI Pusat telah memanggil Indosiar, Jumat, 17 Februari 2017, untuk dimintai klarifikasi terkait tayangan D’Academy 4 pada 14 Februari 2017. Klarifikasi yang disampaikan Indosiar itu menjadi bahan pertimbangan KPI Pusat dalam rapat pleno untuk menentukan keputusannya.

Dilansir kompas.com, sanksi terhadap program D'Academy Indosiar itu berupa tayangan kata-kata kasar yang diuucapkan juri, Dewi Perssik, yang beradu mulut dengan Nassar gara-gara berbeda pendapat tentang seorang kontestan D'Academy.

Dari video yang diunggah di Youtube, Dewi Perssik mengucapkan kata b*nc*ng dan an**ng kepada Nassar.

VIDEO PERTENGKARAN DEWI PERSSIK vs NASSAR


Cuplikan dari pertengkaran dan makian tersebut beredar luas di media sosial. KPI Pusat sebelumnya telah memanggil pihak Indosiar untuk menjelaskan tayangan tersebut. KPI menggunakan klarifikasi dari stasiun televisi tersebut untuk mengambil keputusan.

Saat menyerahkan surat sanksi kepada Indosiar, komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, meminta Indosia untuk tidak mengulangi pelanggaran serupa atau melakukan pelanggaran lain.

Ia berharap sanksi tersebut bisa menjadi bahan perbaikan bagi program D'Academy dan program-program televisi secara umum.*

Hasil Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017: Agus, Ahok, Anies
Hasil Akhir Quick Count (Hitung Cepat) Pilkada DKI Jakarta 2017. Ahok-Anies ke Putaran Dua. Agus Tereliminasi.

HASIL Quick Count (Hitung Cepat) Pilkada DKI Jakarta 2017 yang melibatkan Agus Harimurti, Basuki Tjahaja Purna alias Ahok, dan Anies Baswedan paling menyita perhatian, Secara, DKI adalah Daerah Khusus Ibu Kota.

Pilkada DKI 2017 yang pencoblosannya berlangsung Rabu (15/2/2017) bersama sejumlah daerah lain di Indonesia, paling panas selama masa kampanye. Buzzer bermunculan. Demikian pula hoax dan Tweet War.

Hasil quick count Pilkada DKI 2017 sudah disiarkan secara langsung oleh sejumlah stasiun televisi yang sudah bekerja sama dengan lembaga survey. Hasilnya, hingga Pkl. 13.20 WIB, ketiga pasangan masih mendapatkan suara 0% karena datanya belum masuk :)

Di laman detik.com, tersaji Hasil Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai berikut. Pasangan Ahok-Djarot vs Anies-Sandi saling kejar.

Hasil Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017

UPDATE PKL. 15.45 WIB

Hasil Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017

UPDATE PKL. 17.30 WIB


Hasil Pilkada DKI Jakarta 2017


UPDATE Pkl. 21.30 WIB (FINAL)

Hasil Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017


Hasil hitung cepat biasanya tidak jauh berbeda dengan hasil "hitung beneran" (real count) Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam hal ini KPUD Jakarta.

Selain hitung cepat, ada juga Survei Exit Poll di Pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Versi Exit Poll, pasangan Anies-Sandi unggul atas Agus-Silvy dan Ahok-Djarot.

Dilansir Pojok Satu,  hasil Exit Pol Pilkada DKI Jakarta 2017 lembaga survei Indomatrik menempatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di urutan pertama dengan perolehan 47,92 persen, diikuti Ahok-Djarot 37,50 persen, dan Agus-Sylvi 14,58 persen.

Exit poll yang dilakukan tim Radar Bogor di TPS 28, tempat Anies Baswedan menggunakan hak pilihnya, juga menunjukkan hasil signifikan untuk Anies. Dari 11 pemilih yang ditanyai tim Radar Bogor, sebanyak 10 orang memilih Anies dan hanya 1 memilih Ahok.

Demikian Hasil Akhir Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017. Hasil ini TIDAK RESMI karena yang resmi adalah hasil rekapitulasi suara KPUD Jakarta secara manual.

Namun, dari hasil akhir Quick Count Pilkada DKI Jakarta 2017, hampir dipastikan Ahok-Anies ke Putaran Kedua dan Agus tersingkir.*

Media Sosial Sumber Utama Penyebaran Hoax
MEDIA SOSIAL merupakan sumber utama penyebaran berita bohong (hoax). Demikian hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) yang dirilis Senin (13/2/2017).

Hasil survei secara online yang melibatkan 1,116 responden itu menunjukkan, sebanyak 92,40 persen hoax ditemui di media sosial.

Sebanyak 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax dari aplikasi pesan singkat, seperti Line, WhatsApp (WA), atau Telegram.

Saluran penyebaran hoax lainnya adalah situs web 34,9 persen, televisi 8,7 persen, media cetak 5 persen, email 3,1 persen dan radio 1,2 persen. 

Sebanyak 91,8 persen responden mengatakan, berita mengenai sosial-politik adalah jenis hoax yang paling sering ditemui dengan persentase di media sosial sebanyak 92,40 persen.

"Hoax sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik dan kian marak lantaran faktor stimulasi seperti Sosial Politik dan SARA. Hoax ini juga muncul karena biasanya masyarakat menyukai sesuatu yang heboh," ujar Ketua Umum Mastel, Kristiono, dikutip Tekno Liputan6.

Kristiono menilai, responden sudah cukup kritis karena mereka telah terbiasa memeriksa kebenaran berita. "Ini artinya sudah bagus. Tinggal bagaimana mencegah kelompok silent majority berpindah menjadi haters," tuturnya.*

Kapolda Metro Nyatakan Aksi 112 Aman dan Damai
Aksi 112 Aman dan Damai. Sumber Foto: WhatsApp.*


KEPALA Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Irjen M Iriawan menyatakan Aksi 112 bertajuk Dzikir dan Tausiyah Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta berlangsung tertib, aman, dan damai. Kapolda pun mengapresiasi jalannya aksi.

"Alhamdulillah. Kegiatan aksi damai 112 aman, lancar dan tertib, kondusif. Ini merupakaan kegiatan aman, lancar tertib," kata Iriawan dalam konferensi pers di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu (11/2/2017), dikutip detik.com.

Turut hadir dalam konferensi pers ini Pangdam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana. Iriawan berterima kasih kepada pengurus dan peserta aksi yang mampu menjaga suasana tetap kondusif.

Iriawan mengingatkan hari ini merupakan masa kampanye terakhir. Mulai hari Minggu besok, memasuki masa tenang di mana tidak diperbolehkan ada pengumpulan massa.

"Besok sudah memasuki hari tentang dan tidak boleh ada lagi pengumpulan massa," ujar Iriawan.

Aksi damai 112 yang dijadiri ratusan ribu umat Islam dari berbagai penjuru tanah air itu dimulai sejak subuh dan berakhir setelah salat zuhur. Massa datang dan pulang dengan tertib.

Pesan-pesan yang disampaikan penceramah dan spanduk/poster mengajak umat Islam memilih pemimpin Muslim sesuai dengan perintah Al-Quran, termasuk perintah QS. Al-Maidah:51.

Aksi 112 merupakan lanjutan Aksi 411 dan 212 terkait kasus penistaan agama dan Aksi Bela Islam dan Bela Al-Quran. Dalam Aksi 112 massa juga menyuarakan Bela Ulama dan menolak kriminalisasi ulama. (Republika/Detik/WA).*

Media Dimiliki Politikus Gagal Menjadi Watchdog
PENGUSAHA media beralih menjadi politikus atau mendirikan partai berakibat lumpuhnya media sebagai pilar demoksi keempat.

Media yang yang dimiliki politisi atau dikendalikan kekuatan politik pun berubah fungsi menjadi media propaganda, bukan lagi media pers atau media jurnalistik.

Pemberitaan media partisan itu tidak akan netral, malah sering melakukan framing berita demi kepentingan pencitraan.

Setidaknya hal itu diakui mantan Ketua Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Eko Widianto. 

"Sekarang rezim media. Terutama di Indonesia. Para pengusaha media beralih menjadi politikus atau mendirikan partai. Mereka menguasai media demi meraih kekuasaan. Ini berbahaya. Pilar keempat demokrasi lumpuh, media masih gagal menjadi anjing penjaga,” tegasnya kepada TIMES Indonesia, Jumat (10/2/2017).*

Hoax Berkembang karena Banyak Media Mainstream Partisan
BERITA bohong atau hoax berkembang di media sosial karena media mainstream tidak berimbang dan partisan dalam pemberitaannya.

Demikian dikemukakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Farouk Muhammad. Ditegaskan, media arus utama banyak yang partisan dan melakukan framing.

Ia berharap, media dan insan pers dapat menangkal hoax dengan secara konsisten menghadirkan pemberitaan yang berimbang (cover both side) dan akurat.

"Peringatan Hari Pers nasional 9 Februari harus menjadi tonggak sejarah dan langkah awal melakukan evaluasi kerja-kerja jurnalistik selama Ini. Hal Ini dalam upaya menegaskan kembali profesi jurnalis yang sangat penting untuk tumbuhnya masyarakat yang lebih berbudaya,” katanya, Kamis (9/2/2017), dikutip Koran Jakarta.

Farouk menegaskan, pers dan seluruh masyarakat harus secara serius menangkal hoax. Karena berita hoax sejatinya adalah isu yang dihembuskan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menghadirkan situasi tidak kondusif ditengah-tengah masyarakat. 

Dalam upaya menangkal hoax, masyarakat harus sadar literasi, di antaranya dengan mampu menyeleksi informasi dan melakukan verifikasi terhadap berita yang diterima. 

"Disisi lain, saya mengajak kepada seluruh insan media memegang Kode Etik Jurnalistik dan menghadirkan berita-berita terpercaya,” ujarnya.*

Barcode Media Dewan Pers Dinilai Lindungi Kapitalis Besar
Verifikasi dan Barcode Media yang dilakukan Dewan Pers dinilai hanya melindungi pemodal besar. 

Barcode juga dinilai tak ubahnya bentuk lain dari intimidasi dan pengekangan terhadap kebebasan setelah pemerintah menerapkan Undang-Undang No. 19 tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penerapan barcode juga dianggap sebagai cara lain melindungi eksistensi pemodal besar yang punya hajat di ladang bisnis media.

"Verifikasi bangun tembok baru setelah UU ITE. Dewan Pers hanya melindungi pemodal besar," kata Damar dari Souteast Asia Freedom Of Expression dalam sebuah diskusi di LBH-Pers, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).

Pegiat Serikat Pekerja Industri Media dan Kreatif untuk Demokrasi, Ichsan Rahardjo mengatakan, keberatan mereka salah satunya berkaitan dengan regulasi Dewan Pers yang mengatur besarnya jumlah modal usaha yakni minimal Rp50 juta dan harus berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT).

"Akan terjadi korporasi pers, hanya untungkan pemodal besar saja. Monopoli informasi nanti di situ. Seharusnya juga bukan hanya PT yang diterima tapi juga dari yayasan atau perkumpulan," kata Ichsan.

Pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan pelaksanaan pasal 15 butir 2F, Undang Undang no. 40/1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers. Pendataan ini juga merupakan komitmen komunitas pers di Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang 9 Februari 2010.

Verifikasi itu antara lain meliputi legalitas media, isi pemberitaan, keberadaan penanggungjawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis secara layak, adanya kode etik dan pedoman perilaku.

Aturan verifikasi media juga dinilai tergesa-gesa lantaran Dewan Pers tidak melibatkan stakeholder dan Serikat Pekerja Media dalam perumusannya. Alih-alih menaikan mutu media dengan sistem lisensi barcode, Dewan Pers dianggap kurang peka terhadap masalah substansial yang dimiliki pekerja media.

"Dari 17 pasal pada standar perusahaan pers, ada enam pasal yang pro dengan kepentingan pekerja media seperti perlindungan hukum, gaji, dan bonus. Ini pasal yang sangat baik dan kami ingin verifikasi jangan hanya formalitas tapi juga memang berdampak baik pada kesejahteraan karyawan," kata Ichsan.

Buntut dari verifikasi menurut Ichsan hanya akan mendatangkan masalah baru yang belum tuntas diperhatikan Dewan Pers. Selain kesejahteraan pekerja media yang belum terakomodasi, Ichsan menyebut akan terjadi pembatasan kerja jurnalistik yang dialami media yang belum terverifikasi.

"Nanti masyarakat tidak percaya dan enggan menjawab wawancara. Lalu media kecil disebut abal-abal," kata dia.

Gagasan verifikasi media oleh Dewan Pers berangkat dari fenomena maraknya media, terutama media online, yang belakangan disinggung kerap menyebarkan berita palsu atau hoax ke masyarakat. (CNNI).*

Aliansi Pekerja Media Tolak Barcode Buatan Dewan Pers
VERIFIKASI dan penerapan barcode media oleh Dewan Pers menuai kontroversi.  Aliansi Pekerja Media dan pegiat pers alternatif bahkan menolaknya.

Menurut Anggota Dewan Komite Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Iksan Raharjo, aturan serta mekanisme verifikasi media bermasalah dan berefek samping yang tidak diperhitungkan oleh Dewan Pers.

Ikhsan khawatir, verifikasi media bakal disalahgunakan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan media.

Oleh karena itu, pihaknya menyatakan berkomitmen tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan kerja jurnalistik serta mendesak Dewan Pers mengakomodasi badan hukum selain PT sebagai perusahaan pers seperti koperasi, yayasan, dan perkumpulan.

"Kami juga meminta Dewan Pers memperluas pemangku kepentingannya dengan memasukkan organisasi serikat pekerja media, pegiat media komunitas, alternatif, dan pers mahasiswa," ujarnya, Kamis (9/2/2017), dikutip KBR.

Ditambahkannya, Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers pada dasarnya hanya mewajibkan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia, namun Dewan Pers membatasi badan hukum hanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Selain itu kata dia, perusahaan yang dimaksud Dewan Pers harus memiliki modal paling sedikit Rp50 juta.

Menurut Iksan, Kondisi ini hanya menguntungkan media dengan modal besar dan merugikan media rintisan, media berbasis komunitas serta alternatif.

"Jika hal ini terus dibiarkan akan mengarahkan pada terjadinya korporatisasi pers atau kondisi ketika hanya perusahaan bermodal jumbo saja yang diizinkan menjadi lembaga pers dan akhirnya memonopoli sumber informasi," jelasnya. 

Anggota aliansi yang menolak verifikasi Dewan Pers di antaranya Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, LBH Pers, Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI), Indoprogress, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), Islam Bergerak, ICT Watch, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Hal senada dikemukakan LBH Pers. Kepala Divisi Riset dan Pengembangan LBH Pers Asep Komarudin mengatakan, kebijakan verifikasi dan barcode media harus dilakukan hati-hati karena menyangkut kepentingan banyak pihak. 

"Mandat dari Undang-Undang Pers (ke Dewan Pers) adalah mendata, bukan memberi lisensi,” katanya di Kantor LBH Pers, Jakarta, Kamis, 9 Februari 2017.

LBH Pers, kata Asep, khawatir adanya lisensi, seperti pemberian barcode, akan membuat sumber berita ragu menerima media yang tidak terverifikasi. Padahal bisa jadi media tersebut patuh terhadap asas jurnalisme dan kode etiknya. “Nanti media yang tidak jelas (ber-barcode) tidak ditanggapi,” katanya dikutip Tempo.

Bertepatan dengan Hari Pers Nasional, yang jatuh pada 9 Februari, Dewan Pers mengumumkan media-media yang lolos dalam verifikasi awal. Saat ini, baru ada 77 media yang dapat diverifikasi, sedangkan lainnya masih dalam proses. Dewan Pers menilai verifikasi bagian dari proses pendataan perusahaan pers sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.*

Dibanjiri Informasi, Masyarakat Sedang Gagap Media
Sebagai bangsa yang dibesarkan dengan budaya lisan, bukan budaya membaca, masyarakat Indonesia sedang gagap media ketika teknologi berupa gadget makin terjangkau dan melaluinya informasi datang membanjiri, termasuk berita-berita yang simpang siur dan hoax.

Demikian dikemukakan sosiolog dari Universitas Nasional Jakarta, Sigit Rochadi, Rabu (8/2/2017).

"Mereka mengalami kejutan budaya (cultural shock) seperti mengalami lompatan jauh dibanding kebutuhan. Informasi yang diterima berkali lipat lebih banyak dari yang dibutuhkan," katanya dikutip Berita Satu.

Dikemukakan, berbagai informasi termasuk hoax banyak diterima melalui media sosial (medsos). Medsos mempunyai ciri, tidak dikenal (anonimity), tak dilihat (invisibility), sering tidak sinkron dengan topik utama (acyncrhonicity), hanya permainan (disociative imagination), dan tidak ada yang punya otoritas lebih (minimizing authority).

Dengan ciri-ciri tadi maka pengguna medsos tidak mementingkan kebenaran, tetapi sensasi, kesenangan, kepuasan yang sifatnya sesaat.

"Karenanya, via medsos orang sesukanya menyampaikan apa saja yang ada di pikiran dan perasaannya masing-masing," tegasnya.

"Baru pada saat sekarang orang bisa menyampaikan apa saja secara bebas. Semua perasaan yang selama ini dipendam oleh generasi terdahulu, dapat dinyatakan secara terbuka tanpa beban," katanya.

Apa yang terpendam atau yang dahulu tabu itu antara lain terkait agama, suku atau ekonomi politik. “Maka begitu tersedia sarana langsung meledak,” katanya.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ricardi S Adnan, saat ini masyarakat Indonesia sedang gegar budaya dengan adanya medsos. 

"Pemimpin harus memberikan contoh yang baik dan bukannya memanas-manasi situasi. Sebab saat ini medsos dipenuhi dengan isu-isu politik," katanya.

Ia menilai, media arus utama terlalu kaku dengan format yang dinilainya sudah kuno. Berita dari media arus utama cenderung telat sampainya dibandingkan medsos. Namun saat ini, tidak akan ditinggalkan sepenuhnya.*

RATUSAN mahasiswa menggeruduk dan menggelar aksi demonstrasi di depan rumah mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Mega Kuningan, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Anehnya, dilansir detik.com, para mahasiswa tampak bingung dan baru sadar bahwa lokasi tempat mereka berdemo merupakan rumah SBY.

Massa mahasiswa yang banyak mengenakan jas almamater kampusnya itu dibawa oleh segelintir orang tanpa sepengetahuan mereka sendiri. Mereka tak lain adalah peserta Jambore dan Silaturahmi Mahasiswa Indonesia di Cibubur, Jakarta Timur, yang materinya juga diarahkan mendukung rezim.

Melalu akun Twitternya, SBY juga turut mengabarkan aksi tersebut. "Saudara-saudaraku yg mencintai hukum & keadilan, saat ini rumah saya di Kuningan "digrudug" ratusan orang. Mereka berteriak-teriak. *SBY*," ucap SBY melalui akun @SBYudhoyono.

Diberitakan Tribunnews, jumlah mahasiswa tersebut sekitar 300 hingga 700 orang. Ketua Panitia Jambore dan Silaturahmi Mahasiswa Indonesia, Septian, mengakui, kediaman SBY menjadi salah satu lokasi tujuan aksi peserta jambore sebagaimana hasil rekomendasi peserta Jambore dan Silaturahmi Mahasiswa Indonesia yang dilaksanakan tiga hari terakhir di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur.

Usai dari kediaman SBY, para mahasiswa juga berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Banyak pihak menilai, di tengah harapan rakyat akan adanya aksi mahasiswa sepertu zaman dulu yang memihak rakyat, aksi mahasiswa tersebut justru sebuah ironi besar sekaligus merusak citra mahasiswa sebagai agen perubahan pembela kebenaran.

Aksi demo tersebut jelas menunjukkan mahasiswa kini mudah dikendalikan oleh rezim, entah dengan iming-iming apa. Mahasiswa pun dicekam, antara lain dalam bentuk poster atau meme berikut ini yang beredar di media sosial.

Jadi Alat Penguasa dan Demo Kediaman SBY, Mahasiswa Dikecam

Demo Kediaman SBY, Mahasiswa Dikecam

Akibat Demo Rumah SBY: Mahasiswa Dirisak (Dibully) & Dinilai Jadi Alat Penguasa.*

Media Sosial Mengancam Profesionalisme Wartawan
MEDIA Sosial merupakan ancaman baru profesionalisme wartawan. Kehadiran dan perkembangan medsos membuat wartawan malas menemui langsung narasumber guna mendapatkan informasi akuat.

Demikian dikemukakan Direktur Riset dan Komunikasi Publik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Agus Sudibyo, dalam pelatihan Peningkatan Profesionalisme Wartawan di Hotel The Natsepa, Ambon, Minggu (5/2/17).

Menurutnya, saat ini media sosial dapat mengubah cara kerja wartawan sehingga profesionalisme wartawan dengan sendirinya bisa hilang.

"Saat ini kehadiran media sosial, membuat wartawan dinina bobokkan. Wartawan lebih mudah untuk konfirmasi berita ke narasumber. Padahal, biar lebih aktual upayakan temui narasumber, ” jelasnya dikutip Fajar.

Agus menerangkan, lebih mudahnya mengakses medsos, bisa berdampak positif dan negatif kepada semua orang. Khusus negatifnya, banyak orang-orang yang menjadikan medsos itu sebagai wadah menyebar luaskan unformasi bersifat mencemarkan nama dan SARA.

"Begitupula dengan wartawan. Mereka harus berhati-hati menyebar luaskan berita melalui medsos. Jangan sampai melanggar undang- undang ITE”, harapnya.

Agus juga menuturkan, politik saat ini semakin terpuruk. Karena saat ini banyak pemilik media yang terjung berpolitik. Hal itu bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan di kota-kota lainnya di Indonesia.

“Di daerah lain juga demikian. Ini bukan hanya menjadi permasalahan pada pemilik media. Namun juga pada wartawannya. Bisa saja wartawan di media menjadi tim sukses, baik secara langsung maupun sembunyi-sembunyi, ” tuturnya.*

Verifikasi Media Potensial Lahirkan Hoax Baru versi Pemerintah
LANGKAH Dewan Pers melakukan verifikasi dan pemasangan barcode terhadap media massa dinilai potensial melahirkan hoax baru versi pemerintah, selain menghambat kebebasan pers. Dewan Pers dinilai linglung dan sudah tergiring politik praktis dan kepentingan sektarian.

"Saat ini Dewan Pers kebingungan dan linglung menghadapi perkembangan dunia jurnalisme di tanah air," ujar Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Nasional, Wilson Lalengke, Minggu (5/2/2017). 

"Rakyat di seluruh tanah air, terutama kalangan jurnalis dan pewarta warga, tidak perlu resah, panik, dan reaktif. Tanggapi dengan biasa saja," imbuhnya.

Menurut Wilson, kebijakan Dewan Pers itu berpotensi kontraproduktif terhadap apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Dewan Pers dan pemerintah Indonesia. 

Ia menegaskan, kebijakan barkode media itu bukanlah solusi yang benar dan efektif dalam menghadapi berita bohong (hoax).

Bahkan, menurut Wilson, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan hoax versi baru, yakni berita penuh rekayasa dari pihak pemerintah dan TNI/Polri dan instansi lainnya karena informasi dari mereka hanya bisa diakses oleh media yang sudah diatur oleh Dewan Pers.

"Ini akan membuka pintu bagi proses kongkalikong antara sumber berita dengan media yang terbarkode tersebut," tegasnya.

Wilson bahkan menilai Dewan Pers sudah semestinya dibubarkan dan diganti dengan sebuah lembaga yang lebih representatif untuk kondisi dunia jurnalisme dan media massa saat ini.

Perkembangan teknologi informasi dan publikasi yang telah maju dengan adanya ribuan media online, munculnya jutaan pewarta independen mengakibatkan eksistensi Dewan Pers sudah ketinggalan zaman.

"Pers berasal dari kata press yang artinya cetak. Jadi konotasinya, Dewan Pers adalah lembaga yang mengurusi media-media cetak. Wajarlah jika saat ini Dewan Pers linglung menghadapi media massa di tanah air yang didominasi oleh media non-cetak alias media online," ujarnya.

Ditegaskannya, masyarakat tidak membutuhkan barkode, tapi edukasi jurnalistik. Melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik, publik akan dimampukan untuk mencerna segala informasi yang diterimanya dengan baik dan benar. 

"Ketika warga sudah cerdas dalam mencerna informasi maka akan cerdas dalam merespon atau bereaksi terhadap informasi yang diterimanya," jelasnya.

Dalam kesempatan ini Wilson juga meminta instansi pemerintah dan TNI/Polri untuk menolak surat edaran dari Dewan Pers tentang daftar 74 media yang sudah terverifikasi.
PPWI juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk segera rapatkan barisan, dengan langkah-langkah:
1. Membentuk semacam forum revolusi jurnalisme Indonesia.
2. Membuat konsepsi Jurnalisme Nasional yang ideal untuk bangsa dan negara saat ini dan kemasa depan, termasuk RUU Jurnalistik Nasional dan lembaga pengganti dewan pers.
3.’Audiensi dengan DPR RI dan berbagai instansi terkait.
4.’Membentuk lembaga pengganti atau tandingan Dewan Pers, misalnya Badan Pewarta Nasional (Bapernas).
5. Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang implementasi pasal 28 UUD 1945, perlunya amandemen UU No 40 tahun 1999, pembubaran Dewan Pers, dan pembentukan/legitimasi lembaga Badan Pewarta Nasional sebagai pengganti Dewan Pers.
Masyarakat dapat menghubungi PPWI melalui  Sekretariat PPWI Nasional melalui email: pengurus.ppwi@pewarta-indonesia.com, atau inbox Facebook @Sekretariat PPWI, atau SMS/WA 081371549165 (Shony), atau twitter @my_ppwi.

Sumber: Harian Terbit, Berita Lima.

Verifikasi dan Barcode Media Bukan Pengganti SIUPP
SISTEM verifikasi dan pemasangan barcode kepada media oleh Dewan Pers mengingatkan publik pada kondisi pers masa Orde Baru yang mengharuskan kepemilikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Kala itu, SIUUP menjadi semacam alat bagi pemerintah untuk mengendalikan pemberitaan media agar selalu berpihak kepada penguasa. Kritik atau pemberitan negatif tentang pemerintah biasa berujung pada pencabutan SIUPP atau pembreidelan.

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria, memastikan, sistem verifikasi yang diterapkan Dewan Pers bagi perusahaan media bukanlah lisensi pengikat semacam SIUPP yang pernah dibuat di era Orde Baru. 

“Itu hoax, Dewan Pers tidak pernah jadi lembaga lisensi,” kata Nezar kepada Tempo, Minggu (5/2/2017).

Menurut Nezar, Dewan Pers hanya akan memberi rujukan ke publik saat mengkonsumsi berita dari berbagai perusahaan pers. Dengan demikian, publik dapat membedakan mana perusahaan yang profesional dan yang belum. “Hanya itu saja, jadi bukan semacam lisensi yang mengikat,” ujarnya.

Dewan Pers bakal memverifikasi ribuan perusahaan pers yang telah terdaftar di situs resminya. Sejauh ini sudah ada 74 perusahaan media yang telah diverifikasi tahap awal. 

Rencananya, dalam waktu dua tahun terakhir pihaknya bakal konsentrasi untuk meratifikasi perusahaan pers agar profesional.

Verifikasi dan barcode merupakan salah satu upaya Dewan Pers untuk meredam berita hoax yang saat ini sering beredar di masyarakat.

Pemberlakuan sistem ini juga hasil dari kesepakatan berbagai pihak terhadap Piagam Palembang 2010. Sedikitnya 18 pimpinan perusahaan pers ikut menandatangani Piagam Palembang dan sepakat akan tegaknya kemerdekaan pers secara sukarela dan penuh tanggung jawab. Di dalam piagam itu juga tertuang terkait dengan peningkatan kompetensi dan profesionalitas jurnalistik.*

alistarbot

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget