Articles by "Media"

Dewan Pers Peringatkan Media Online Tak Berbadan Hukum
Dewan Pers meminta media-media online di Indonesia agar jangan abaikan pengurusan badan hukum.

Dewan Pers telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi semua media online yang ada di Indonesia.

Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, pada acara Literasi Digital, Rabu (29/8/2018).

"Tentu kami dari Dewan Pers memberi kesempatan kepada semua media online yang belum kantongi badan hukum agar kembali ke jalan yang benar dengan mengurus badan hukum," kata Prasetyo.

Dijelaskan, satgas melakukan tugas mengawasi media online sesuai dengan undang-undang.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini ada sekitar 300-an media online yang dilaporkan ke Dewan Pers agar media yang bersangkutan segera diblokir.

"Sedangkan ada sekitar 200-an media juga yang sedang dilaporkan ke Polri. Karena itu, dengan satgas ini, kita bisa lebih mengawasi lagi perkembangan media online di Indonesia," katanya.

Dikatakan, dengan maraknya perkembangan media online saat ini, maka Dewan Pers juga menunggu apabila ada pengaduan dari masyarakat, maka media yang bersangkutan langsung diproses secara hukum, baik dengan UU Pers dan juga KUHP.

"Kalau seperti pemerasan dengan berkedok menggunakan media, maka kita ajukan ke ranah pidana menggunakan KUHP, bukan UU Pers," katanya.

Dia mengakui, saat ini juga banyak media yang bermunculan untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Bahkan, ada yang menggunakan media untuk memeras. (Sumber)

Media Online Bentuk Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)
Sebelum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), ada juga AMSI Kepri, AMI, dan AMDI.  

Media Online di tanah air membentuk Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI). Menurut rencana, deklarasikan pendirian AMSI dilakukan Selasa 18 April 2017 di Jakarta.

Media Online yang tergabung di AMSI antara lain detik.com, kompas.com, liputan6.com, viva.co.id, cnnindonesia.com, merdeka.com, metrotvnews.com, okezone.com, republika.co.id, bisnis.com, tribunnews.com, tempo.co, dan kapanlagi.com.

Sejaih ini AMSI berisikan 26 anggota pendiri dan 95 anggota biasa. Jumlah anggota AMSI akan terus bertambah.

Dengan mendirikan AMSI, para pemain media siber diharapkan memiliki posisi bargaining yang lebih kuat, bukan hanya terhadap stakeholder pers lain, tapi juga terhadap negara (Kementerian Komunikasi dan Kepolisian misalnya).

Selain itu, AMSI diharapkan menjadi bagian dari rezim swaregulasi media siber. Jangan sampai media siber diatur oleh orang-orang yang tidak memahami dinamika media siber.

Setelah terbentuk, AMSI akan menjadi asosiasi perusahaan kelima yang bisa menjadi stakeholder Dewan Pers bersama Serikat Penerbitan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

AMSI KEPRI

Sebelumnya, nama AMSI digunakan sebagai organisasi yang dideklarasikan sembilan Pemimpin Perusahaan/Pemimpin Redaksi media online di Kepulauan Riau, khususnya di kota Batam, Agustus 2016.

Sembilan media online tersebut adalah potretkepri.com, detikglobalnews.com, kejoranews.com, Batamekbiz.com, independennews.com, infokepri.com, realitasnews.com, simakkepri.com, dan detiknasional.com.
AMI

Ada juga organisasi media online bernama Asosiasi Media Online Indonesia (AMI) yang dideklarasikan di Jakarta 16 Januari 2017.
 
AMI dideklarasikan sebagai upaya memenuhi aspirasi para penggiat media yang mayoritas menggantungkan hidupnya sebagai jurnalis. Deklarasi diihadiri 36 perwakilan media online di wilayah Jabodetabek.

Anggota AMI antara lain situs Kabar Nasional, Jakartakita, Berita Nusantara, dan Harian Nasional.

AMDI

Selain AMSI, pada Oktober 2016 lahir pula Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) yang dirintis oleh sekitar 10 wartawan senior yang juga pemilik media. 

AMDI diharapkan bisa menjadi wadah bagi pebisnis media tradisional cetak yang “hijrah” atau menjadi penopang para start up di media digital. 

AMDI menjadi wadah organisasi bagi perkembangan media digital atau media online di Indonesia. Organisasinya saat ini telah membina lebih dari 150 media online atau media digital di seluruh Indonesia.

Media yang bergabung dalam AMDI di antaranya halloapakabar.com, eksekutif.com, detak.co, moneter.co, eksplorasi.id, industry.co, beritaenam.com, telegraf.co.id, indonews.id, editor.id, resourcesasia.id, surabayaonline.co, maduranews.id, malangvoice.com, batulicinnews.com, dan obsesirakyat.com. (Berbagai Sumber).*

Media Dimiliki Politikus Gagal Menjadi Watchdog
PENGUSAHA media beralih menjadi politikus atau mendirikan partai berakibat lumpuhnya media sebagai pilar demoksi keempat.

Media yang yang dimiliki politisi atau dikendalikan kekuatan politik pun berubah fungsi menjadi media propaganda, bukan lagi media pers atau media jurnalistik.

Pemberitaan media partisan itu tidak akan netral, malah sering melakukan framing berita demi kepentingan pencitraan.

Setidaknya hal itu diakui mantan Ketua Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Eko Widianto. 

"Sekarang rezim media. Terutama di Indonesia. Para pengusaha media beralih menjadi politikus atau mendirikan partai. Mereka menguasai media demi meraih kekuasaan. Ini berbahaya. Pilar keempat demokrasi lumpuh, media masih gagal menjadi anjing penjaga,” tegasnya kepada TIMES Indonesia, Jumat (10/2/2017).*

Hoax Berkembang karena Banyak Media Mainstream Partisan
BERITA bohong atau hoax berkembang di media sosial karena media mainstream tidak berimbang dan partisan dalam pemberitaannya.

Demikian dikemukakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Farouk Muhammad. Ditegaskan, media arus utama banyak yang partisan dan melakukan framing.

Ia berharap, media dan insan pers dapat menangkal hoax dengan secara konsisten menghadirkan pemberitaan yang berimbang (cover both side) dan akurat.

"Peringatan Hari Pers nasional 9 Februari harus menjadi tonggak sejarah dan langkah awal melakukan evaluasi kerja-kerja jurnalistik selama Ini. Hal Ini dalam upaya menegaskan kembali profesi jurnalis yang sangat penting untuk tumbuhnya masyarakat yang lebih berbudaya,” katanya, Kamis (9/2/2017), dikutip Koran Jakarta.

Farouk menegaskan, pers dan seluruh masyarakat harus secara serius menangkal hoax. Karena berita hoax sejatinya adalah isu yang dihembuskan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menghadirkan situasi tidak kondusif ditengah-tengah masyarakat. 

Dalam upaya menangkal hoax, masyarakat harus sadar literasi, di antaranya dengan mampu menyeleksi informasi dan melakukan verifikasi terhadap berita yang diterima. 

"Disisi lain, saya mengajak kepada seluruh insan media memegang Kode Etik Jurnalistik dan menghadirkan berita-berita terpercaya,” ujarnya.*

Barcode Media Dewan Pers Dinilai Lindungi Kapitalis Besar
Verifikasi dan Barcode Media yang dilakukan Dewan Pers dinilai hanya melindungi pemodal besar. 

Barcode juga dinilai tak ubahnya bentuk lain dari intimidasi dan pengekangan terhadap kebebasan setelah pemerintah menerapkan Undang-Undang No. 19 tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penerapan barcode juga dianggap sebagai cara lain melindungi eksistensi pemodal besar yang punya hajat di ladang bisnis media.

"Verifikasi bangun tembok baru setelah UU ITE. Dewan Pers hanya melindungi pemodal besar," kata Damar dari Souteast Asia Freedom Of Expression dalam sebuah diskusi di LBH-Pers, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2017).

Pegiat Serikat Pekerja Industri Media dan Kreatif untuk Demokrasi, Ichsan Rahardjo mengatakan, keberatan mereka salah satunya berkaitan dengan regulasi Dewan Pers yang mengatur besarnya jumlah modal usaha yakni minimal Rp50 juta dan harus berbadan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT).

"Akan terjadi korporasi pers, hanya untungkan pemodal besar saja. Monopoli informasi nanti di situ. Seharusnya juga bukan hanya PT yang diterima tapi juga dari yayasan atau perkumpulan," kata Ichsan.

Pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan pelaksanaan pasal 15 butir 2F, Undang Undang no. 40/1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers. Pendataan ini juga merupakan komitmen komunitas pers di Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang 9 Februari 2010.

Verifikasi itu antara lain meliputi legalitas media, isi pemberitaan, keberadaan penanggungjawab redaksi yang jelas, bukti kemampuan finansial untuk menggaji jurnalis secara layak, adanya kode etik dan pedoman perilaku.

Aturan verifikasi media juga dinilai tergesa-gesa lantaran Dewan Pers tidak melibatkan stakeholder dan Serikat Pekerja Media dalam perumusannya. Alih-alih menaikan mutu media dengan sistem lisensi barcode, Dewan Pers dianggap kurang peka terhadap masalah substansial yang dimiliki pekerja media.

"Dari 17 pasal pada standar perusahaan pers, ada enam pasal yang pro dengan kepentingan pekerja media seperti perlindungan hukum, gaji, dan bonus. Ini pasal yang sangat baik dan kami ingin verifikasi jangan hanya formalitas tapi juga memang berdampak baik pada kesejahteraan karyawan," kata Ichsan.

Buntut dari verifikasi menurut Ichsan hanya akan mendatangkan masalah baru yang belum tuntas diperhatikan Dewan Pers. Selain kesejahteraan pekerja media yang belum terakomodasi, Ichsan menyebut akan terjadi pembatasan kerja jurnalistik yang dialami media yang belum terverifikasi.

"Nanti masyarakat tidak percaya dan enggan menjawab wawancara. Lalu media kecil disebut abal-abal," kata dia.

Gagasan verifikasi media oleh Dewan Pers berangkat dari fenomena maraknya media, terutama media online, yang belakangan disinggung kerap menyebarkan berita palsu atau hoax ke masyarakat. (CNNI).*

Aliansi Pekerja Media Tolak Barcode Buatan Dewan Pers
VERIFIKASI dan penerapan barcode media oleh Dewan Pers menuai kontroversi.  Aliansi Pekerja Media dan pegiat pers alternatif bahkan menolaknya.

Menurut Anggota Dewan Komite Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Iksan Raharjo, aturan serta mekanisme verifikasi media bermasalah dan berefek samping yang tidak diperhitungkan oleh Dewan Pers.

Ikhsan khawatir, verifikasi media bakal disalahgunakan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan media.

Oleh karena itu, pihaknya menyatakan berkomitmen tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan kerja jurnalistik serta mendesak Dewan Pers mengakomodasi badan hukum selain PT sebagai perusahaan pers seperti koperasi, yayasan, dan perkumpulan.

"Kami juga meminta Dewan Pers memperluas pemangku kepentingannya dengan memasukkan organisasi serikat pekerja media, pegiat media komunitas, alternatif, dan pers mahasiswa," ujarnya, Kamis (9/2/2017), dikutip KBR.

Ditambahkannya, Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers pada dasarnya hanya mewajibkan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia, namun Dewan Pers membatasi badan hukum hanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Selain itu kata dia, perusahaan yang dimaksud Dewan Pers harus memiliki modal paling sedikit Rp50 juta.

Menurut Iksan, Kondisi ini hanya menguntungkan media dengan modal besar dan merugikan media rintisan, media berbasis komunitas serta alternatif.

"Jika hal ini terus dibiarkan akan mengarahkan pada terjadinya korporatisasi pers atau kondisi ketika hanya perusahaan bermodal jumbo saja yang diizinkan menjadi lembaga pers dan akhirnya memonopoli sumber informasi," jelasnya. 

Anggota aliansi yang menolak verifikasi Dewan Pers di antaranya Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, LBH Pers, Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI), Indoprogress, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), Islam Bergerak, ICT Watch, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Hal senada dikemukakan LBH Pers. Kepala Divisi Riset dan Pengembangan LBH Pers Asep Komarudin mengatakan, kebijakan verifikasi dan barcode media harus dilakukan hati-hati karena menyangkut kepentingan banyak pihak. 

"Mandat dari Undang-Undang Pers (ke Dewan Pers) adalah mendata, bukan memberi lisensi,” katanya di Kantor LBH Pers, Jakarta, Kamis, 9 Februari 2017.

LBH Pers, kata Asep, khawatir adanya lisensi, seperti pemberian barcode, akan membuat sumber berita ragu menerima media yang tidak terverifikasi. Padahal bisa jadi media tersebut patuh terhadap asas jurnalisme dan kode etiknya. “Nanti media yang tidak jelas (ber-barcode) tidak ditanggapi,” katanya dikutip Tempo.

Bertepatan dengan Hari Pers Nasional, yang jatuh pada 9 Februari, Dewan Pers mengumumkan media-media yang lolos dalam verifikasi awal. Saat ini, baru ada 77 media yang dapat diverifikasi, sedangkan lainnya masih dalam proses. Dewan Pers menilai verifikasi bagian dari proses pendataan perusahaan pers sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.*

Dibanjiri Informasi, Masyarakat Sedang Gagap Media
Sebagai bangsa yang dibesarkan dengan budaya lisan, bukan budaya membaca, masyarakat Indonesia sedang gagap media ketika teknologi berupa gadget makin terjangkau dan melaluinya informasi datang membanjiri, termasuk berita-berita yang simpang siur dan hoax.

Demikian dikemukakan sosiolog dari Universitas Nasional Jakarta, Sigit Rochadi, Rabu (8/2/2017).

"Mereka mengalami kejutan budaya (cultural shock) seperti mengalami lompatan jauh dibanding kebutuhan. Informasi yang diterima berkali lipat lebih banyak dari yang dibutuhkan," katanya dikutip Berita Satu.

Dikemukakan, berbagai informasi termasuk hoax banyak diterima melalui media sosial (medsos). Medsos mempunyai ciri, tidak dikenal (anonimity), tak dilihat (invisibility), sering tidak sinkron dengan topik utama (acyncrhonicity), hanya permainan (disociative imagination), dan tidak ada yang punya otoritas lebih (minimizing authority).

Dengan ciri-ciri tadi maka pengguna medsos tidak mementingkan kebenaran, tetapi sensasi, kesenangan, kepuasan yang sifatnya sesaat.

"Karenanya, via medsos orang sesukanya menyampaikan apa saja yang ada di pikiran dan perasaannya masing-masing," tegasnya.

"Baru pada saat sekarang orang bisa menyampaikan apa saja secara bebas. Semua perasaan yang selama ini dipendam oleh generasi terdahulu, dapat dinyatakan secara terbuka tanpa beban," katanya.

Apa yang terpendam atau yang dahulu tabu itu antara lain terkait agama, suku atau ekonomi politik. “Maka begitu tersedia sarana langsung meledak,” katanya.

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Ricardi S Adnan, saat ini masyarakat Indonesia sedang gegar budaya dengan adanya medsos. 

"Pemimpin harus memberikan contoh yang baik dan bukannya memanas-manasi situasi. Sebab saat ini medsos dipenuhi dengan isu-isu politik," katanya.

Ia menilai, media arus utama terlalu kaku dengan format yang dinilainya sudah kuno. Berita dari media arus utama cenderung telat sampainya dibandingkan medsos. Namun saat ini, tidak akan ditinggalkan sepenuhnya.*

Media Sosial Mengancam Profesionalisme Wartawan
MEDIA Sosial merupakan ancaman baru profesionalisme wartawan. Kehadiran dan perkembangan medsos membuat wartawan malas menemui langsung narasumber guna mendapatkan informasi akuat.

Demikian dikemukakan Direktur Riset dan Komunikasi Publik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Agus Sudibyo, dalam pelatihan Peningkatan Profesionalisme Wartawan di Hotel The Natsepa, Ambon, Minggu (5/2/17).

Menurutnya, saat ini media sosial dapat mengubah cara kerja wartawan sehingga profesionalisme wartawan dengan sendirinya bisa hilang.

"Saat ini kehadiran media sosial, membuat wartawan dinina bobokkan. Wartawan lebih mudah untuk konfirmasi berita ke narasumber. Padahal, biar lebih aktual upayakan temui narasumber, ” jelasnya dikutip Fajar.

Agus menerangkan, lebih mudahnya mengakses medsos, bisa berdampak positif dan negatif kepada semua orang. Khusus negatifnya, banyak orang-orang yang menjadikan medsos itu sebagai wadah menyebar luaskan unformasi bersifat mencemarkan nama dan SARA.

"Begitupula dengan wartawan. Mereka harus berhati-hati menyebar luaskan berita melalui medsos. Jangan sampai melanggar undang- undang ITE”, harapnya.

Agus juga menuturkan, politik saat ini semakin terpuruk. Karena saat ini banyak pemilik media yang terjung berpolitik. Hal itu bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan di kota-kota lainnya di Indonesia.

“Di daerah lain juga demikian. Ini bukan hanya menjadi permasalahan pada pemilik media. Namun juga pada wartawannya. Bisa saja wartawan di media menjadi tim sukses, baik secara langsung maupun sembunyi-sembunyi, ” tuturnya.*

Verifikasi Media Potensial Lahirkan Hoax Baru versi Pemerintah
LANGKAH Dewan Pers melakukan verifikasi dan pemasangan barcode terhadap media massa dinilai potensial melahirkan hoax baru versi pemerintah, selain menghambat kebebasan pers. Dewan Pers dinilai linglung dan sudah tergiring politik praktis dan kepentingan sektarian.

"Saat ini Dewan Pers kebingungan dan linglung menghadapi perkembangan dunia jurnalisme di tanah air," ujar Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Nasional, Wilson Lalengke, Minggu (5/2/2017). 

"Rakyat di seluruh tanah air, terutama kalangan jurnalis dan pewarta warga, tidak perlu resah, panik, dan reaktif. Tanggapi dengan biasa saja," imbuhnya.

Menurut Wilson, kebijakan Dewan Pers itu berpotensi kontraproduktif terhadap apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Dewan Pers dan pemerintah Indonesia. 

Ia menegaskan, kebijakan barkode media itu bukanlah solusi yang benar dan efektif dalam menghadapi berita bohong (hoax).

Bahkan, menurut Wilson, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan hoax versi baru, yakni berita penuh rekayasa dari pihak pemerintah dan TNI/Polri dan instansi lainnya karena informasi dari mereka hanya bisa diakses oleh media yang sudah diatur oleh Dewan Pers.

"Ini akan membuka pintu bagi proses kongkalikong antara sumber berita dengan media yang terbarkode tersebut," tegasnya.

Wilson bahkan menilai Dewan Pers sudah semestinya dibubarkan dan diganti dengan sebuah lembaga yang lebih representatif untuk kondisi dunia jurnalisme dan media massa saat ini.

Perkembangan teknologi informasi dan publikasi yang telah maju dengan adanya ribuan media online, munculnya jutaan pewarta independen mengakibatkan eksistensi Dewan Pers sudah ketinggalan zaman.

"Pers berasal dari kata press yang artinya cetak. Jadi konotasinya, Dewan Pers adalah lembaga yang mengurusi media-media cetak. Wajarlah jika saat ini Dewan Pers linglung menghadapi media massa di tanah air yang didominasi oleh media non-cetak alias media online," ujarnya.

Ditegaskannya, masyarakat tidak membutuhkan barkode, tapi edukasi jurnalistik. Melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik, publik akan dimampukan untuk mencerna segala informasi yang diterimanya dengan baik dan benar. 

"Ketika warga sudah cerdas dalam mencerna informasi maka akan cerdas dalam merespon atau bereaksi terhadap informasi yang diterimanya," jelasnya.

Dalam kesempatan ini Wilson juga meminta instansi pemerintah dan TNI/Polri untuk menolak surat edaran dari Dewan Pers tentang daftar 74 media yang sudah terverifikasi.
PPWI juga menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk segera rapatkan barisan, dengan langkah-langkah:
1. Membentuk semacam forum revolusi jurnalisme Indonesia.
2. Membuat konsepsi Jurnalisme Nasional yang ideal untuk bangsa dan negara saat ini dan kemasa depan, termasuk RUU Jurnalistik Nasional dan lembaga pengganti dewan pers.
3.’Audiensi dengan DPR RI dan berbagai instansi terkait.
4.’Membentuk lembaga pengganti atau tandingan Dewan Pers, misalnya Badan Pewarta Nasional (Bapernas).
5. Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang implementasi pasal 28 UUD 1945, perlunya amandemen UU No 40 tahun 1999, pembubaran Dewan Pers, dan pembentukan/legitimasi lembaga Badan Pewarta Nasional sebagai pengganti Dewan Pers.
Masyarakat dapat menghubungi PPWI melalui  Sekretariat PPWI Nasional melalui email: pengurus.ppwi@pewarta-indonesia.com, atau inbox Facebook @Sekretariat PPWI, atau SMS/WA 081371549165 (Shony), atau twitter @my_ppwi.

Sumber: Harian Terbit, Berita Lima.

Verifikasi dan Barcode Media Bukan Pengganti SIUPP
SISTEM verifikasi dan pemasangan barcode kepada media oleh Dewan Pers mengingatkan publik pada kondisi pers masa Orde Baru yang mengharuskan kepemilikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Kala itu, SIUUP menjadi semacam alat bagi pemerintah untuk mengendalikan pemberitaan media agar selalu berpihak kepada penguasa. Kritik atau pemberitan negatif tentang pemerintah biasa berujung pada pencabutan SIUPP atau pembreidelan.

Anggota Dewan Pers, Nezar Patria, memastikan, sistem verifikasi yang diterapkan Dewan Pers bagi perusahaan media bukanlah lisensi pengikat semacam SIUPP yang pernah dibuat di era Orde Baru. 

“Itu hoax, Dewan Pers tidak pernah jadi lembaga lisensi,” kata Nezar kepada Tempo, Minggu (5/2/2017).

Menurut Nezar, Dewan Pers hanya akan memberi rujukan ke publik saat mengkonsumsi berita dari berbagai perusahaan pers. Dengan demikian, publik dapat membedakan mana perusahaan yang profesional dan yang belum. “Hanya itu saja, jadi bukan semacam lisensi yang mengikat,” ujarnya.

Dewan Pers bakal memverifikasi ribuan perusahaan pers yang telah terdaftar di situs resminya. Sejauh ini sudah ada 74 perusahaan media yang telah diverifikasi tahap awal. 

Rencananya, dalam waktu dua tahun terakhir pihaknya bakal konsentrasi untuk meratifikasi perusahaan pers agar profesional.

Verifikasi dan barcode merupakan salah satu upaya Dewan Pers untuk meredam berita hoax yang saat ini sering beredar di masyarakat.

Pemberlakuan sistem ini juga hasil dari kesepakatan berbagai pihak terhadap Piagam Palembang 2010. Sedikitnya 18 pimpinan perusahaan pers ikut menandatangani Piagam Palembang dan sepakat akan tegaknya kemerdekaan pers secara sukarela dan penuh tanggung jawab. Di dalam piagam itu juga tertuang terkait dengan peningkatan kompetensi dan profesionalitas jurnalistik.*

Daftar 74 Media yang Terverifikasi Dewan Pers
Daftar 74 Media Cetak, Elektronik, dan Situs Berita yang Terverifikasi Dewan Pers.

SEBANYAK 74 media, terdiri dari media cetak, elektronik (radi & televisi), serta media online (sutus berita), dinyatakan lolos verifikasi Dewan Pers.

Ke-74 media yang terverifikasi Dewan Pers sebagai media resmi atau media pers itu akan mendapatkan logo yang di dalamnya ada QR code (barcode) yang bila dicek menggunakan smartphone akan tersambung ke link database Dewan Pers yang berisi data perusahaan pers yang bersangkutan.

Untuk media televisi dan radio akan dipasang bumper in dan bumper out yang mengapit program berita yang ditayangkan.

Pemberian logo atay barcode media tersebut akan dilakukan Dewan Pers saat pencanangan Ratifikasi Piagam Palembang oleh perusahaan-perusahaan Pers pada Hari Pers Nasional di Ambon, 9 Februari 2017.

Daftar 74 Media yang Terverifikasi Dewan Pers itu akan bertambah seiring proses verifikasi yang terus dilakukan, terutama terhadap media-media online yang jumlahnya ribuan. Dewan Pers sendiri mencatan jumlah media di Indonesia mencapai 43.400.

Daftar 74 Media yang Terverifikasi Dewan Pers

Berikut ini daftar media yang akan menerima sertifikasi:

1. Media Indonesia
2. Kompas
3. Bisnis Indonesia
4. Pikiran Rakyat
5. Cek & Ricek

6. Siwalima
7. Waspada
8. Analisa
9. Tribun Timur
10. Kedaulatan Rakyat

11. Harian Jogja
12. Suara Merdeka
13. Solo Pos
14. Koran Sindo
15. Sindo Weekly

16. Sumatera Ekspres
17. Radar Palembang
18. Tribul Sumsel
19. Sriwijaya Post
20. Palembang Ekspres

21. Palembang Post
22. Republika
23. Singgalang
24. Padang Ekspres
25. Haluan

26. Berita Pagi
27. Poskota
28. Majalah Investor
29. Suara Pembaruan
30. Kaltim Pos

31. Rakyat Merdeka
32. Balikpapan Pos
33. Tribun Kaltim
34. Jawa Pos
35. Femina

36. Tribun Pekanbaru
37. Bali Post
38. Riau Pos
39. Harian Fajar
40. Metro TV

41. Trans 7
42. ANTV
43. TVOne
44. MNC TV
45. Global TV

46. RCTI
47. iNews TV
48. SCTV
49. Indosiar
50. Trans TV

51. TA TV
52. CTV
53. Celebes TV
54. Balikpapan TV
55. Kompas TV

56. Bali TV
57. JTV
58. Berita Satu News Channel (TV)
59. Radio Elshinta
60. Radio Republik Indonesia

61. Radio DMS Ambon
62. Radio PR FM Bandung
63. Radio Sindotrijaya FM
64. Radio KBR
65. Radio Suara Surabaya

66. Radio Pronews FM
67. LKBN ANTARA (Antaranews.com)
68. Detik.com
69. Okezone.com
70. Kompas.com

71. Viva.co.id
72. Metronewstv.com
73. RMOL.co
74. Arah.com

Demikian Daftar 74 Media yang Terverifikasi Dewan Pers sebagaimana dikutip dari detik.com dan viva.co.id.

Verifikasi dan barcode media dilakukan salah satu tujuannya adalah memerangi Hoax yang menggejala belakangan ini di media sosial.

Ke-74 Media yang Terverifikasi Dewan Pers tersebut dipastikan legal, resmi, dan beritanya dapat dipertanggung jawabkan karena lembaga penerbit (publisher), pengelola (wartawan), dan alamat kantornya jelas sehingga mudah diproses jika terjadi pelanggaran hukum atau kode etik jurnalistik.

Meski sudah terverifikasi Dewan Pers, ke-74 media tersebut belum tentu mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat, karena kredibilitas media ditentukan oleh pemberitaannya yang berimbang (balance), tidak memihak atau menjadi corong kekuatan politik dan ekonomi, tidak menjadi media propaganda, dan tidak berisi berita yang menipu pembaca, termasuk kesesuaian judul dengan isi berita.

Jika media-media mainstream dan resmi tersebut tidak menaati kode etik jurnalistik, tidak berimbang, dan tidak memenuhi hak tahu (right to know) publik, maka barcode atau logo verifikiasi tidak ada artinya karena publik bisa menilai sendiri mana media yang bisa dipercaya dan mana yang tidak tidak.*

Hoax Melimpah Akibat Literasi Media Masyarakat Rendah
HOAX atau berita palsu (fake news) berkembang pesat belakangan ini salah satu faktornya adalah akibat rendahnya literasi media masyarakat. Peredaran hoax atau berita bohong akan berhenti jika publik cerdas dalam menyaring berita atau informasi.

Demikian dikemukakan pengamat media sosial dan teknologi informasi Nukman Luthfie di Jakarta, Jumat (27/1/2017).

"Kuncinya adalah literasi dan kecerdasan masyarakat dalam menyaring berita atau informasi. Selama ini masyarakat kita tidak biasa kritis dan kesannya gampang menelan konten apa pun di media dan medsos, termasuk konten yang tidak berdasar," ujarnya dikutip Antara.

Menurut Nukman, rendahnya literasi media masyarakat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya kecenderungan hanya membaca judul tanpa melihat, apalagi memahami isi berita. Dalam statistik sebuah lembaga, hampir 40% konten atau link berita di medsos tidak pernah dibuka.

Padahal, sebagian besar konten hoax itu judulnya pasti bombastis, sedangkan isinya tidak ada apa-apanya. Fakta inilah yang menjadi salah satu cikal bakal hoax.

"Yang membahayakan itu ketika judul-judul yang tidak benar itu terus menyebar dan orang yang menerima setuju terus menyebarkan lagi. Bisa dibayangkan betapa besar dampak hoax tersebut," ucap Nukman.

Nukman menyarankan kepada siapa pun yang menggunakan medsos untuk lebih cerdas dan arif ketika menerima informasi atau berita.

"Baca lebih dulu isi berita sebelum menyebarkan. Selain itu, juga harus cek ricek tentang sumber berita tersebut," ujarnya.

Ia menegaskan, sikap hati-hati diperlukan dalam menyikapi berita dan informasi di media sosial karena ada pihak yang sengaja menyebarkan hoax untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. (Bisnis).*

Komnas HAM: Situs Dituduh Hoax Harus Diuji Publik Sebelum Diblokir
Pemerintah diminta tidak sewenang-wenang memblokir sebuah situs Islam yang dianggap penyebar hoax. Sebelum diblokir, situs perlu diuji publik dulu di masyarakat. 

Anggota Komnas HAM, Natalius Pigai, mengkritik sikap pemerintah yang memblokir secara pihak 11 situs Islam yang dituduh menyebarkan berita hoax.

Natalius mempertanyakan kewenangan pemerintah yang langsung memblokir ke 11 situs tersebut dan 300-an situs lain yang dituduh SARA dan menyebar kebencian, padahal belum dilakukan uji publik.

"Karena situs yang dituduh SARA atau menyebarkan berita hoax itu perlu diuji publik dulu di masyarakat sebelum diblokir. Maka pemerintah tdak bisa semena-mena langsung memblokir," ujarnya dalam acara diskusi di ILC TV One, Selasa (17/1/2017), dikutip Republika Online.

Ditambahkannya, dalam sistem hukum (criminal justice system) keputusan bersalah itu ada di pengadilan dan pemeritah tidak bisa sepihak bertindak. Apalagi bila melihat pendapat PBB soal penggunaan internet sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Komnas HAM bahkan menyangsikan UU ITE karena ada hak kebebasan pers dan menyampaikan pendapat yang dijamin undang-undang. 

"Kebebasan itu harus dilestarikan, maka sangat pas bila Komnas HAM masih menyanksikan UU (Undang Undang) ITE, karena bertentangan dengan UU kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat," katanya.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah secara sepihak memblokir 11 situs Islam yang dinilai penyebar hoax, meski belakangan lima situs dibuka kembali.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejauh ini telah memblokir setidaknya 7.770 situs.*

Pemerintah Sudah Blokir 7.770 Situs
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejauh ini telah memblokir setidaknya 7.770 situs.

Salah satu di antaranya merupakan situs milik pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq. Terbaru pemerintah memblokir sembilan situs dakwah Islam.

Menteri Kominfo Rudiantara menyebutkan, pemblokiran ribuan situs tersebut sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pemerintah berhak menutup situs-situs yang memuat konten berbahaya bagi masyarakat, antara lain pornografi, radikalisme, dan SARA.

Namun begitu, Rudiantara mengaku tak hapal situs apa saja yang telah ditutup aksesnya tersebut. Ia juga tak tahu jika situs Habib Rizieq termasuk di dalamnya.

"Saya tidak ingat satu-satu, itu kan ada 7.770 yang dihapuskan," kata Rudiantara di Balai Kartini, Kamis (1/12/2017), dikutip Republika. 

Ia menyebutkan, pemblokiran situs bukan suatu hal yang baru. Kominfo, kata Rudiantara, memang rutin menyisir situs-situs yang berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Selanjutnya, untuk menertibkannya pemerintah juga lebih dulu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

Di sisi lain, pemerintah diminta menjelaskan kriteria situs yang dilarang itu agar jelas dan tidak menumbulkan kecurigaan bahwa pemerintah anti-Islam. Pasalnya, sejauh ini situs-situs yang diblokor mayoritas situs Islam, sedangkan situs anti-Islam atau kontennya menjelekkan Islam tidak diblokir.

Hingga kini indikator yang digunakan Kominfo dalam memblokir beberapa situs media Islam tidak transparan.

"Tidak tahu apa indikator kenapa media ini diblokir segala macam. Harusnya buat dulu indikatornya. Jelaskan ke publik agar tidak muncul banyak prasangka dan praduga," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, Selasa (3/1/2017).

Disebutkan, ada beberapa situs daring (media online) yang tidak menggunakan nomenklatur Islam, namun melakukan provokasi dan ujaran ujaran kebencian yang justru lebih parah, misalnya menjelek-jelekkan Islam.

"Kok (situs ini) tidak diblokir. Berangkat dari situ muncul dugaan ketidakadilan. Muncul dugaan sentimen anti-Islam," kata Dahnil.

Untuk itu agar dugaan tersebut tidak berkembang, Kominfo dinilai perlu menjabarkan indikator secara adil, terkait alasan, dasar, dan datanya. Seperti diberitakan sebelumnya, beberapa situs media Islam telah diblokir antara lain islampos.com, kiblat.net, voa-islam.com, nahimunkar.com, bisyarah.com, dan dakwahtangerang.com.*

Pemerintah Blokir Sembilan Situs yang Dianggap Penyebar Berita Hoax
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kembali memblokir situs-situs yang diduga mengandung informasi hoax. 

Setidaknya ada sembilan situs yang diblokir oleh Kemkominfo. Kesembilan situs yang diblokir itu mayoritas merupakan situs-situs Islam dan sebagian berupa blog berplatform blogger.

Dilansir Merdeka, kesembilan situs yang diblokir karena dianggap penyebar berita hoax itu adalah

1. Nahimunkar.com
2. Gensyiah.com
3. Kiblat.net
4. Islampos.com
5. Suaranews.com
6. Izzamedia.com
7. Voa-islam.com
8. Dakwahtangerang.com
9. Bisyarah.com

Menurut Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo, Samuel Abrijani Pangerapan, kesembilan situs tersebut sudah dicek keabsahannya melakukan penyebaran berita hoax.

"Lembaga negara yang berkaitan dengan hal itu merekomendasikan untuk diblokir. Saya dilaporkannya begitu dan tadi malam sudah dikirimkan surat untuk melakukan pemblokiran sembilan situs tersebut kepada para operator dan Internet Service Provider (ISP). Harusnya, hari ini sudah berjalan," katanya, Sabtu (31/12/2016).

Semmy menuturkan, jika ada dari kesembilan situs itu tidak terima diblokir lantaran dituding menyebar informasi-informasi hoax, dipersilakan mengikuti mekanisme yang ada sesuai dengan Peraturan Menteri (PM) Nomor 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.

"Ada mekanismenya untuk normalisasi lihat saja aturannya di PM," jelasnya.

Sepanjang 2016 Kemkominfo memblokir 773.000 situs berdasarkan 10 kategori. Kesepuluh kategori tersebut di antaranya menngandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Untuk berita hoax, belum ada kategori tersendiri. Plt Kepala Humas Kemkominfo, Noor Izza, menyebutkan, dengan kejadian pemblokiran situs berita penyebar hoax, diperlukan penambahan kategori baru khusus berita-berita fitnah. "Perlu kita buat kategori baru," ujarnya.

Pemblokiran situs ini merupakan kelanjutan dari instruksi presiden untuk menindaktegas situs-situs yang dianggap menyebarkan berita palsu atau hoax.*

SEORANG jurnalis media Islam, Ranu Muda Nugroho, ditangkap Tim Gabungan Direktorat Kriminal Umum Polda Jateng dan Polresta Solo.

Wartawan media Islam online itu ditangkap di rumahnya di Ngasinan, Grogol, Sukarjo, Kamis (22/12/2016).

Ranu ditangkap karena menulis berita tentang restoran Social Kitchen di situs Panjimas, dan didakwa turut merencanakan sekaligus ikut melakukan aksi sweeping terhadap restoran tersebut.

Tulisannya di Panjimas berjudul "Seolah Kebal Hukum, Social Kitchen Menjadi Tempat Favorit bagi Pecinta Miras dan Kemesuman" menyebutkan, Social Kitchen merupakan tempat favorit yang menyediakan beragam merk minuman keras.

"Selain digunakan sebagai tempat makan Social Kitchen juga menyediakan tempat untuk pesta miras. Bagi pengunjung yang datang dikenakan tarif 50 ribu dan mendapatkan satu boto minuman keras. Di diskotik tersebut setiap hari memiliki jadwal yang berbeda-beda mulai dari bintang tamu disc jokey hingga sexy dance," tulisnya.

Ranu juga menceritakan kronologis penggrebekan Social Kitchen oleh ormas Islam yang diliputnya.

Dilansir Solo Pos, oleh polisi Ranu Muda dijadikan salah satu tersangka aksi sweeping di Social Kitchen Solo.

"Barang bukti yang disita kamera digital merk Canon, pakaian yang digunakan saat sweeping di Social Kitchen [sepatu, celana panjang, baju hitam, sebo, topi], tas ransel merk Polo warna coklat, dua unit laptop merk Asus, dan dua unit HP,” ujar Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Rikwanto, Jumat (23/12/2016).

Menurut Rikwanto, Ranu terlibat sebagai tim propaganda kelompok yang melakulan kekerasan bersama-sama saat aksi sweeping di Social Kitchen, Minggu (18/12/2016). Ranu Muda merupakan rekan dan bagian dari kelompok yang melakukan perusakan dan penganiayaan di lokasi kejadian.

"Tersangka ini juga ikut melakukan perencanaan, dan ikut dalam rombongan sweeping serta melakukan pengrusakan,” kata Rikwanto.

Tersangka juga mendokumentasikan semua aksi rekan-rekannya lalu dimuat di Tabloid Panjimas milik tersangka yang beredar di kalangan sendiri. 

"Tersangka saat ini di bawa ke Polda Jateng guna pemeriksaan lebih lanjut. Kemungkinan adanya tersangka lainnya masih dalam pengembangan,” ujarnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan jumlah tersangka penganiayaan dan pengurusakan Social Kitchen ini kembali bertambah. Sudah ada tujuh tersangka hingga Kamis (22/12/2016).

"Kita akan kembangkan terus kasus ini, karena saat itu lebih kurang 50 orang yang masuk ke Social Kitchen dan melakukan pengrusakan. Saya minta sebanyak mungkin melakukan penangkapan terhadap mereka agar ada efek jera,” kata Kapolri.*

Daftar 7 Media Online yang Bermasalah dengan Eko Patrio
Sebanyak tujuh media online diadukan anggota DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio ke Bareskrim Polri, Jumat (16/12/2016). Ketujuh media online yang umumnya berplatform blogger ini didakwa menyebarkan berita bohong atau fitnah.

Ketujuh media online tersebut adalah satelitnews.com, ambigustik.blogspot.com, healmagz.com, bk75.blogspot.co.id, vionnaliel.blogspot.co.id, lemahireng.info, dan selatpanjangpos.com

Menurut Dewan Pers, ketujuh media online tersebut tidak terverifikasi atau terdaftar. Dewan Pers juga menegaskan, tujuh media yang diadukan Eko ke Bareskrim Polri dan Dewan Pers itu bukan produk purnalistik.

"Kami mencatat dan melakukan riset, dan menemukan kesimpulan bahwa 7 media tersebut tidak sesuai dengan Undang Undang Pers, juga bukan merupakan karya jurnalistik. Tiga media merupakan blog dan 4 tidak terverifikasinya dan alamatnya tidak jelas," kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Rabu (21/12/2016), dikutip Tribunnews.
Menurut Yosep, yang dimaksud produk jurnalistik adalah berita yang ditulis wartawan taat kode etik jurnalistik.

Ditegaskan, setiap media wajib terverifikasi Dewan Pers selaku institusi yang menjalankan Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Masih dituturkan Yosep, alamat dari ke-tujuh media online tersebut tak bisa dilacak sehingga penanggung jawabnya tidak bisa diketahui. Maka, konten media tersebut dianggap fiktif.

"Kami kesulitan menghubungi karena alamatnya tidak jelas. Ini dilakukan oleh blogger, dan bersifat fiktif karena Pak Eko tidak pernah mengucapkan diwawancarai. Ini merupakan kejahatan yang memakai ruang cyber," kata Yosep.

Ketujuh media yang diadukan Eko memuat berita yang menyebutkan Eko menilai penemuan bom di Bekasi adalah pengalihan isu.*

Dewan Pers: Jumlah Media di Indonesia 43.400, yang Terdaftar Hanya 234 Media
DEWAN Pers menyatakan, jumlah media massa online di Indonesia mencapai 43.400, namun tidak semuanya memenuhi syarat dan tidak terdaftar di Dewan Pers.

Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, mayoritas media massa online tidak memenuhi syarat sebagai sebuah media legal.

"Media yang ada jumlahnya sekitar 43.400, tetapi yang telah terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 234 media," ujarnya, Rabu (21/12/2016), dikutip Kompas.

Ia menilai media massa yang dinilai abal-abal itu bekerja tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Parahnya lagi, tidak jarang media-media tersebut menjadi rujukan orang.

"Berita-berita di media itu dipercaya publik, di-capture dan di-share.," ujarnya seraya mencontohlan sebuah media online --tepatnya blog berita-- yang menurutnya isinya fitnah semua.

Dewan Pers meminta masyarakat untuk teliti memilih bahan bacaan. Jangan sampai masyarakat terbawa oleh perspektif media massa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan hukum.

Stempel 'Label Halal' Media 2017


Dewan Pers berencana memberikan "stempel" bagi media massa yang memenuhi syarat undang-undang 9 Februari 2017 bertepatan dengan Hari Pers Nasional.

"Kami akan melakukan verifikasi. Perusahaan media yang terverifikasi akan diberikan logo. Semuanya, mulai dari online, cetak, dan radio," ujarnya.

Bentuk logo bahwa media itu terverifikasi akan disesuaikan dengan jenis media massa. Misalnya, untuk media massa televisi, "stempel" akan dalam bentuk seperti running text.

Untuk media massa radio, "stempel" akan berupa suara. Adapun untuk media massa online, "stempel" akan berupa logo di laman utama media tersebut.

Sebelumnya, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Margiono mengatakan, semua media atau perusahaan pers, termasuk media onlina atau koran online, harus mengantongi label ‘halal’ tahun 2017 dari Dewan Pers.

Margiono mengatakan, label halal ini merupakan kompetensi perusahaan media dalam memberitakan.

"Diberikan label oleh Dewan Pers mengenai verifikasi perusahaan media. Agar masyarakat tahu media mana saja yang sudah sesuai dengan aturan Dewan Pers dan kaidah jurnalistik,” jelasnya (Baca: Semua Media Harus Kantongi Label ‘Halal’ Tahun 2017).*

Google dan Facebook Panen Laba, Media Lokal Kolaps
REVOLUSI Digital atau media internet hanya menguntungkan beberapa pihak, yakni raksasa media global seperti Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo. Di pihak lain, yakni media lokal di Indonesia, mengalami turbulensi. Delapan media cetak bahkan berhenti terbit.

Demikian dikemukakan mantan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam sebuah diskusi  di Jakarta, Sabtu (17/12/2016).

"Raksasa global teknologi mengambil keuntungan besar dan menimbulkan efek terhadap media dan informasi secara umum,” katanya dikutip rmol.co.
Menurut Agus, mayoritas media global hanya sebagai news aggregator, yaitu menghimpun informasi dari berbagai pihak tanpa harus memproduksi. Sedangkan media-media lokal harus memproduksi berita dan informasi yang tentunya membutuhkan sumber daya yang besar.

Karenanya, Agus menegaskan, asosiasi-asosiasi media harus bersikap. Karena media-media lokal semakin tergerus keberadannya. “Media mainstream di Indonesia sedang dalam kondisi yang memprihatinkan,” tegasnya.

Agus juga menyebutkan salah satunya adalah ada delapan media cetak per 1 Desember 2016 yang tidak berproduksi lagi. “Delapan media cetak pamit kepada pembacanya,” kata dia.

Ia menegaskan, harus ada perlindungan pemerintah untuk media-media lokal Indonesia. Proteksi terhadap media dalam negeri melalui undang-undang teramat penting. Pasalnya, negara lain pun menyadari akan hal itu, seperti India, Korea, Argentina, Brasil, dan Uni Eropa. 
"Semangatnya bukan untuk menolak Google, Facebook, dan sebagainya. Melainkan ada langkah-langkah rill di level kebijakan untuk melindungi industri media konvensional," jelasnya.

Di India, lanjutnya, pemerintah bahkan memberikan subsidi kertas bagi media cetak dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit. Upaya pemerintah India tersebut sebagai suatu bentuk kesadaran pemerintah bahwa media konvensional tidak bisa digantikan fungsinya oleh media sosial.

"Sebagai sarana kontrol dan sebagainya, media konvensional termasuk radio belum bisa tergantikan. Oleh karenanya negara hadir," tegasnya.

Agus berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi I DPR, Komisi Penyiaran Indonesia serta pemangku kepentingan media lainnya membuat sebuah undang-undang demi menjaga media mainstream nasional dari ekspansi Google dan media sosial lainnya.

"Kita tidak mungkin menolak Google dan sebagainya. Tapi kita harus mempunyai sikap untuk kemudian industri media hiburan nasional tetap bisa eksis," imbuhnya.*

Polri: Media Online Tak Jelas Nodai Jurnalisme
MEDIA Online yang tidak jelas atau tidak terdaftar menodai jurnalisme. Demikian dikemukakan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Kombes Rikwanto.

Hal itu dikemukakan Rikwanto terkait kasus media online yang dinilai memfitnah Ketua DPW PAN DKI Jakarta, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, dengan memberitakan seolah-olah Eko menyatakan penangkapan terduga teroris di Bekasi merupakan pengalihan isu Ahok.

Rikwanto menjelaskan, pihaknya akan terus menelusuri media tersebut, pasalnya mereka tidak terdaftar dalam situs media resmi.

"Media online yang seolah resmi tapi tidak jelas karena tidak terdaftar ini akan nodai jurnalisme dan jadi preseden yang buruk," tegasnya, Minggu (18/12/2016), dikutip Tribunnews.
Hingga saat ini, Polri mengaku belum mengetahui siapa yang menulis dan bertanggung jawab atas media tersebut.

"Makanya nanti kita tanyakan maksud tujuannya bagaimana seolah portal resmi yang bisa menyihir masyarakat dengan beritanya," katanya.

Salah satu media online yang dilaporkan Eko Patrio kepada polisi adalah Satelitnews.com. Situs berita berplatform blogger sudah menghapus berita yang diadukan Eko. 

Bahkan, pengelola blog tersebut menampilkan permohonan maaf dalam halaman muka situsnya, sekaligus menyebutkan dua blog lain yang menjadi sumbe beritanya:

"Permohonan Maaf Dari Satelitnews.com

Kami mohon maaf, artikel "Eko Patrio Teror Bom Istana Adalah Upaya Pengalihan Isu Kasus Ahok" ini sudah dihapus agar tidak ada lagi menimbulkan kesalah pahaman.

Sekali lagi kami mohon maaf, tidak ada niatan sama sekali dari kami untuk mencemarkan nama baik orang lain.

Tidak ada maksud lain. Ini semua hanya kekhilafan kami belaka yang tidak melakukan pengecekan lebih lanjut terhadap kebenaran berita yang kami temukan sebelumnya, dan kami langsung saja me-copy-paste-nya tanpa ada tabayyun apakah berita tersebut benar atau tidak."

Di bawah permohonan maaf tersebut terdapat screenshoot beberapa situs yang menjadi acuan Satelitnews.com.

"Kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga masalah ini dapat segera diselesaikan dengan tenang, tentram, dan adil.

Pernyataan ini dibuat sebenar-benarnya dari hati yang tulus, tanpa unsur pemaksaan dari pihak lain.

Terima kasih. Wassalam.

Jakarta, 16 Desember 2016

alistarbot

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget